Kalau kita lihat haditsnya secara lengkap, adalah seperti
berikut ini.
“Diriwayatkan dari Miswar bin Makhramah ra : ‘Ali bin
Abi Thalib ra. melamar anak perempuan Abu Jahal, sedangkan waktu itu dia adalah
suami Fathimah, putri Nabi saw. Sewaktu mendengar lamaran Ali, Fathimah pergi
menemui Nabi saw seraya berkata:
‘Sesungguhnya kaummu berbicara bahwa engkau tidak pernah
marah karena putri-putrimu. Aku memberitahukan bahwa Ali hendak menikah dengan
putri Abu Jahal.’
Berkata Miswar: Kemudian Nabi saw. berdiri. Aku
mendengarnya membaca tasyahud, lalu berkata:
“Amma ba’du. Sesungguhnya
aku menikahkan Abu’l Ash bin Rabi’. Dia berbicara kepadaku dan dia
membenarkanku. Dan sesungguhnya, Fathimah binti Muhammad adalah segumpal
dagingku. Dan aku benar-benar tidak suka kalau mereka memfitnahnya. Demi Allah,
sesungguhnya tidak boleh berkumpul putri Rasulullah dengan putri musuh Allah
pada seorang suami selama-lamanya.”
Kemudian Ali ra menggagalkan lamarannya.”
(Shahih Muslim 7 : 142)
Banyak yang menampilkah hadits ini hanya sepotong saja, entah tanpa sengaja atau karena belum tahu, sehingga seakan-akan masalahnya hanyalah sekedar Rasulullah melarang Fathimah dimadu. Padahal jika kita lihat haditsnya secara lengkap, masalah sebenarnya sepertinya jauh lebih dalam dari itu.
Dari hadits ini, jika ditampilkan secara lengkap,
sepertinya bisa dilihat bahwa Rasulullah melarang Ali menikah lagi ketika masih
beristri Fathimah ra adalah karena Ali hendak melamar putri Abu Jahal, bukan
karena semata-mata kecemburuan dan tidak ingin Fathimah, putri beliau,
‘terluka’.
Di riwayat lain, juga diriwayatkan hadits yang senada,
walaupun nama imam haditsnya tidak tercantum.
“Sesungguhnya Fathimah adalah darah dagingku dan aku
mengkhawatirkan dia akan terganggu agamanya.” Kemudian Beliau menyebutkan salah
seorang menantunya dari bani ‘Abdi Syams (yaitu Utsman bin Affan r.a.), dengan
memuji perkawinannya dengan anaknya yang dinilainya baik. Lalu Beliau SAW
bersabda : “Menantuku kalau berbicara denganku jujur, kalau berjanji denganku,
memenuhinya. Sesungguhnya aku tidaklah mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram, akan tetapi, demi Allah, putri Rasulullah tidaklah
boleh sama sekali dikumpulkan di satu tempat dengan putri dari musuh Allah
selama-lamanya.“(Al-Hadits).
Jadi saya kira pelarangan poligami Rasulullah terhadap Ali
ra. ketika masih beristri Fathimah ra. bukanlah sekedar masalah kecemburuan
atau sakit hati, melainkan dengan siapa Fathimah ra. hendak dikumpulkan pada
seorang suami. Agaknya belum tepat jika potongan hadits ini dijadikan landasan
argumen generalisasi bahwa ‘Rasulullah pada dasarnya melarang poligami’.
Apa hikmah poligami? Kenapa Islam tidak menganjurkannya,
tapi juga tidak melarangnya?
Saya juga belum tahu. Tapi saya pribadi tidak ingin
memandang poligami adalah sebuah hal yang ‘nista’. Sejauh yang bisa saya
jadikan landasan sikap saya pribadi, adalah bahwa saya belum mengerti hakikat
masalah ini. Tapi tidak akan bersikap di dalam hati seakan-akan ada yang salah
di Al-Qur’an dan dalam sikap hidup Rasulullah. Itu artinya jauh di dalam hati
saya masih tersimpan keyakinan bahwa ada yang tidak relevan lagi di Al-Qur’an
sehingga ada bagian di kitab tersebut yang boleh diedit ulang. Itu mustahil.
Al-Qur’an, sebagai kitab suci dari ‘tangan’ Allah ta’ala sendiri, tidak mungkin
terbatas relevansi implikasinya dalam bingkai waktu.
Jika melihat sejarah, toh ada para rasul yang berpoligami,
dan ada pula yang tidak. Demikian pula para sahabatnya. Demikian pula,
Al-Qur’an dan syariat Islam pun tidak dalam posisi mengajurkan atau meng-encourage
poligami. Posisinya netral, mubah-mubah saja. Dan di atas semuanya, tentu tidak
perlu saya sebutkan lagi bahwa setiap pelaku poligami (dan bahkan monogami
pun), semua akan dimintai pertanggungan jawabnya di hadapan Allah ta’ala: atas
dasar apa ia mengambil sikap demikian.
Intinya, saya pribadi tidak ingin ‘mengharamkan yang halal
dan menghalalkan yang haram’, demikian dalam bahasa Rasulullah. Sikap demikian
mengundang azab-Nya. Tapi saya juga tidak mencibir kepada Rasulullah maupun
para sahabat yang berpoligami. Saya hanya belum mengerti, saya rasa alasan itu
cukup di mata Allah sehingga (semoga) dalam rahmat-Nya Dia tidak akan
menghakimi saya karena ketidakmengertian saya. Saya tidak ingin menjadi
dihakimi-Nya karena jatuh kepada menghakimi orang lain dengan ketidakpahaman,
apalagi mengedepankan sebuah kebencian dengan alasan-alasan emosional semata.
Ya Rabb, berilah hamba pemahaman… izinkan hamba
menyentuh hakikat segala sesuatu. Engkaulah Rabb, Sang Penjaga, dan
Engkaulah Al-’Ilm Sang Raja pemilik ilmu. Aku hanyalah hamba, yang
akan senantiasa butuh untuk meminta pada-Mu. Amiin.
setuju, yg halal jangan diharamkan dan haram jangan dihalalkan dalam kontek
ReplyDeletepoligami.
saya kira sikap 'nista' masyarakat terhadap pelaku poligami lebih karena masyarakat menilai bahwa pelaku poligami tersebut lebih menunjukan subjektifitas pribadinya (urusan syahwat) daripada tulus murni menjalankan perintah Allah.
Bagaimana tidak, istri kedua nya lebih muda, cantik, seksi dan bahenol di banding istri pertama. Coba kalau yg di poligami misalnya janda2 yg berumur korban perang/bencana alam yang punya banyak anak (seperti nabi benar2 mencontohkan), mungkin persepsi masyarakat akan lain menilainya.
Jadi ayat2 poligami ini sangat gampang untuk di pelintir.
Melintir ayat untuk urusan syahwat. Inilah penistaan sesungguhnya..
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete:-#
ReplyDelete:>)
ReplyDeleteSaya pikir judul tulisannya kurang tepat.
ReplyDeleteHarusnya seperti ini
"Hadits Lengkap Pelarangan Poligami Ali RA"