http://serambi-islam.blogspot.com/2013/05/puasa-bagi-anak-anak.html
Puasa Bagi Anak-Anak, Puasa bagi anak-anak pada dasarnya tidak wajib, meski demikian mengajari mereka sejak dini agar berpuasa terbiasa merupakan perbuatan sunnah Nabi dan para salaf shalih as sepanjang mereka mampu menjalankannya. Rasulullah saw bersabda:”
ى  عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَتِمَّ  رًا فَلْيُ  بَحَ مُفْطِ  انَ أَصْ  قُرَى الأَنْصَارِ الَّتِي حَوْلَ الْمَدِينَةِ مَنْ آَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ آَسْجِدِ  ى الْمَ  ذْهَبُ إِلَ  هُ وَنَ  اءَ اللَّ  نْهُمْ إِنْ شَ  بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِفَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الإِفْطَارِ
Dari Rubayyi binti Muawidz berkata:” Di pagi Asyura’ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan ke kampung-kampung Anshar :” Siapa yang pagi ini dalam keadaan puasa maka sempurnakanlah puasanya, dan barangsiapa yang pagi ini dalam keadaan tidak berpuasa, maka berpuasalah pada sisa hari ini. Dan kamipun melakukan puasa Asyura’. Sebagaimana kami menyuruh puasa anak-anak kecil kami, dan kami beserta putra-putra kami berangkat ke masjid dengan menjadikan mainan dari kapas buat mereka, jika ada salah seorang dari mereka menangis minta makanan, kami berikan mainan itu kepadanya sampai masuk waktu berbuka” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa melatih anak dalam berpuasa merupakan anjuran syara` yang tidak terbantah. Hadits tersebut di atas dalam konteks puasa sunnah yaitu puasa asyura`, bagaimana dengan puasa wajib seperti Ramadhan? Tentu Ramadhan memiliki tempat tersendiri bagi Rasulullah dan salaf saleh. Bila dalam puasa sunnah Rasulullah membenarkan adanya latihan puasa bagi anak-anak maka dalam puasa wajib tentu lebih prioritas. Itulah yang disebut dengan qiyas aulawi ( analogi prioritas).
Imam al-Bukhari memandang bahwa belajar puasa bagi anak yang belum baligh sudah mentradisi di kalangan penduduk Madinah dan ini merupakan dalil syara` tersendiri. Karenanya dengan sengaja beliau meletakkan judul pada pasal puasa “ bab puasa bagi anak-anak” Dalam khazanah fiqih Islam kita dapatkan bahwa mayoritas ulama memandang pentingnya pemberlakuan puasa bagi anak yang belum baligh meski tidak berstatus wajib, bahkan sebagian mereka seperti Ibnu Sirin, az-Zuhri, as-Syafii memandang sunnah dalam pembelajaran tersebut dengan catatan hal tersebut mampu dilakukannya secara normal, bahkan Ibnu Majisyun al-Maliki memandang agak berbeda dari para ulama maliki yang lain bahwa anak yang telah mampu berpuasa maka puasa baginya adalah keharusan dan jika meninggalkannya tanpa udzur maka harus membayarnya ( qadha). (lihat Fathul Bari; Ibnu Hajar al-Asqalani: 5/103).

Perhatian khusus para salaf dalam masalah pembelajaran puasa bagi anak-anak tercermin pada keseharian mereka bersama keluarga anak dan istri dalam menjalankan puasa di bulan Ramadhan. Abu Dawud at-Tayalisi mengutip bahwa Abdullah bin Umar setiap kali akan berbuka selalu mengumpulkan istri dan anak-anaknya untuk berdoa bersama. ( dikutip dari manhaj tarbiyah nabawiyah li thifli; Mohammad Nor swaid: 135)
Bahkan untuk memberi pendidikan yang menyeluruh dalam aspek ibadah kepada anak para salaf juga mengajak anak-anak mereka untuk mengikuti i`tikaf sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Dalam pandangan ulama sebagaimana di kutip dari al-Kasani bahwa i`tikaf atau puasa sunnah anak-anak yang belum akil baligh dianggap sah karena ibadah tersebut tidak mensyaratkan batasan baligh dalam menjalankannya.( lihat al-Badai`k; 2: 442).

Jika dilihat dari pengertian bahasa bahwa kalimat “ shibyan”-yang digunakan untuk mengungkapkan fase anak memulai puasa- berasal dari kata shabiyyu bentuk jamaknya shibyan yang berarti yang masih kecil sebelum akil baligh terkadang digunakan untuk menyatakan anak yang belum disapih, namun Majma’ lughah lebih memilih makna as-shabiyyu adalah (an-Nasyi’ alladhi yudarrab alal mihnah wal ihtidza’) anak yang sudah mulai siap dilatih dengan pekerjaan dan tugas. Definisi ini memberikan pengertian kesiapan menerima tugas dan kesiapan dilatih untuk sebuah pekerjaan.
Para ulama dalam memandang usia anak cakap puasa bervariasi. Ada yang berpendapat bahwa mulai tujuh dan sepuluh tahun hal itu dianalogikan dengan shalat, Imam Ishaq bin Rahuyah memandang usia anak cakap puasa sejak usia dua belas tahun. Berbeda dengan Imam Ahmad yang memandang usia layak dilatih (cakap) puasa bagi anak sejak sepuluh tahun.( lihat Fathul bari; Ibnu Hajar; 5: 103).
Dari aspek bahasa, penggunaan kalimat as-shibyan selalu dipakai untuk menyatakan anak yang masih kecil belum akil baligh atau anak yang sudah mulai akil baligh dan sudah siap menerima tugas-tugas kehidupan. Hal itu sesuai pengertian yang dikemukakan oleh majma’ lughah. Isyarat lain yang dikemukakan para ulama yang memberikan kontribusi pendapat dalam aspek ini pada bab-bab fiqih selalu mengaitkan dengan qoblal bulugh (akil baligh). Dengan demikian batasan usia anak cakap berpuasa tidak dapat ditentukan dengan nominal angka usia melainkan fase perkembangan usia anak. Dan bila kita mengacu pendapat majma’ lughah yang memberikan dua ciri sebagaimana di atas dan kita kembalikan kepada paradigma pendidikan yang berlaku maka ciri-ciri tersebut sudah ada pada anak usia SD, dengan demikian usia capai puasa bagi anak adalah tingkatan sekolah dasar yang dimulai dari usia enam tahun ke atas.

Kenapa al-Quran yang menjadi prioritas utama bagi anak-anak kita bukan yang lain?.
1. Pelajaran pertama
Sebelum pikiran dan hati anak-anak kita diwarnai oleh berbagai pemikiran dan bentuk kemaksiatan maka seharusnya hati mereka dipenuhi oleh al-Quran terlebih dahulu agar tidak tersisa dalam hati mereka ruang untuk warna dan berbagai hal lain yang dapat mengotori hati mereka. Karena al-Quran adalah kalamullah yang merupakan sumber agama Islam dan pedoman hidup kaum muslimin.
Imam Suyuthi berkata:” Mengajarkan al-Quran kepada anak merupakan pekerjaan yang fundamental dalam Islam sehingga mereka dapat tumbuh dalam kefithrahan, dapat menyerap hikmah sebelum hawa nafsu mendominasinya dengan berbagai bentuk kemaksiatan dan kesesatan”( lihat Nur Swaid, Manhaj Tarbiyah Nabawiyah lil afhfal: 104).
Hal yang sama dikatakan Ibnu Sina:” Ketika sang anak telah mulai siap menerima instruksi dan memahami apa yang mereka dengar saat itulah mulai belajar al-Quran”( dikutip dari manhaj tarbiyah lil athfal).
2. Syiar agama
Mengajarkan al-Quran kepada anak dipandang sebagai syiar agama Islam yang harus dilestarikan. Ibnu khaldun berkata:” orang tua yang mengajarkan al-Quran kepada anak-anaknya merupakan syiar agama yang dipelihara oleh ahli agama, mereka berkeliling ke berbagai wilayah karenanya, karena al-Quran mampu memikat hati sehingga dapat mengokohkan keimanan dan aqidah, sehingga pengajaran al-Quran menjadi inti bagi seluruh pelajaran lain”.( lihat Muqaddimah Ibnu Khaldun:397).
3. Bulan Ramadhan bulan al-Quran.
Salah satu nama bulan Ramadhan adalah bulan al-Quran karena di dalamnya al-Quran diturunkan dan membacanya dilipatkan pahala. Sebagai bulan yang penuh berkah tentu terlalu mahal kalau ia harus berlalu begitu saja, karena itu memprioritaskan amalan berkenaan dengan al-Quran menjadi sangat beralasan. (dkwt)

Post a Comment Blogger